Translate

Minggu, 29 September 2013

PASAR LEGI KOTAGEDE “Konsep Catur Gatra Tunggal”



Terpisah tapi terhubung oleh koridor jalan-jalan. Itu lah konsep Catur Gatra Tunggal, empat wahana menjadi kesatuan tunggal. Para sejarawan mengatakan bahwa lokasi pasar Kotagede adalah sama dengan pasar Gedhe di zaman Mataram. Keraton Mataram sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat peribadatan, alun-alun sebagai pusat adat budaya masyarakat, dan pasar sebagai pusat perekonomian.
Dahulu kala, Sutawijaya membangun sebuah pasar besar dengan cara membuka hutan Mentaok. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sebuah kota. Awal mulanya, kota itu dikenal dengan sebutan Pasar Gedhe, atau lebih sering disebut dengan Sargedhe. Keputusan Sutawijaya untuk membuka pasar dinilai sangat tepat. Pasar adalah jantung perekonomian yang membuat perdagangan menjadi hidup, kota menjadi ramai, dan makmur. Pada waktu itu, masyarakat mengembangkan diri bekerja di berbagai macam profesi yang senantiasa dekat dengan pasar. Akibatnya, mulai bermunculan toponim nama kampung berdasarkan profesi yang berkaitan dengan pasar. Misalnya, kampung Sayangan di barat pasar, kampung Pandean di timur pasar, dan kampung Samakan di selatan pasar.
Menjelang tahun 1960, banyak kios yang mulai bermunculan di sebelah utara dan barat pasar Kotagede. Pada waktu itu, kawasan pasar Kotagede masih dikelilingi kawat berduri dan di dalam pasar ditumbuhi beberapa pohon waru besar. Banyak pendatang yang menetap di dalam pasar pada zaman dahulu, seperti pedagang arang, pedagang kayu bakar, warung nasi, maupun warung wedang. Salah satu penghuninya yang legendaries bernama Sonto dan Beles, yaitu seorang bandar judi kartu yang beraktifitas di tengah pasar.
Seiring dengan perkembangan zaman, nama pasar Legi pun kini sedikit demi sedikit menggantikan nama yang sebenarnya. Di pasar Kotagede, pasaran legi adalah aktifitas luberan pasar, di mana kegiatan jual beli para pedagang berada di luar bangunan pasar, di tengah jalan, ataupun di lorong-lorong kampung sekitar pasar. Aktivitas perdagangan jauh lebih besar di hari Legi daripada di hari lain. Banyak pedagang dari Piyungan, Imogiri, Terong, Dlingo, ataupun Magelang yang berjualan di pasar Kotagede ketika memasuki pasaran Legi.
Pada pasaran Legi, jenis dagangan di pasar Kotagede juga lebih lengkap. Tidak hanya menjual barang kebutuhan sehari-hari, tetapi juga berbagai peralatan pertanian, burung, ikan hias, unggas, dan bahkan majalah. Biasanya, para tukang obat, tukang sulap, tukang ramal, dan tukan kerokan juga tampil ketika pasaran Legi. Kini, nama pasar Kotagede sudah membaur dengan pasar Legi. Sering sekali pasar Kotagede disebut dengan pasar Legi atau biasa disingkat Sarlegi. Bahkan, nama pasar Legi akhirnya terpahat di atas gerbang pintu utama pasar.

Sumber: Toponim Kotagede, Asal Muasal Nama Tempat

Sabtu, 08 Juni 2013

Kotagede, The Old Town


Kotagede is a silent witness of the rise of the Islamic Mataram Kingdom that ruled almost the entire Java. The cemetery of Islamic Mataram Kingdom forefathers, the fort’s ruins, and the other historical remains can be found in Kotagede. In the later development, Kotagede remained to be crowded although it was no longer as the capital of the kingdom. Many historical remains such as the cemetery of the kingdom forefathers, Kotagede Mosque, traditional houses with Javanese architecture, the topography of the villages or kampongs that using the ancient city’s

system, and the fort ruins can be found in Kotagede.

Me, My Young Sister, n My lovely Mom



Foto ini diambil di Kawah Putih, Ciwedey, Bandung. Pengen banget rasanya bisa jalan bareng keluarga tercinta seperti itu lagi. Kapan ya bisa jalan bersama-sama lagi? Semoga bisa kumpul bareng keluarga lagi suatu saat. Tapi sayang, Bapak tidak bisa ikut. Kemana kah bapak waktu itu? hmm Saya lupa pemirsa! :)

Jumat, 17 Mei 2013

WONDERFUL KOTAGEDE



Kotagede merupakan salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta masih memiliki tingkat budaya yang kental. Kebudayaan yang berada di Kotagede merupakan ciri khas dalam kehidupan masyarakatnya baik budaya dalam bentuk fisik maupun non-fisik. Ciri khas budaya yang dimiliki Kotagede merupakan asset berharga bagi warga masyarakat Kotagede, sebagai pembuktian bahwa kawasan Kotagede memiliki citra identitas yang jelas sebagai daerah bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
Budaya lokal dalam wujud fisik, yang terdapat di Kotagede diantaranya adalah bentuk bangunan Komplek Masjid Besar Mataram dan bentuk bangunan-bangunan rumah tradisional Jawa di Kotagede. Sedangkan yang termasuk budaya lokal dalam wujud non-fisik terdapat dalam tata nilai, kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat lokal Kotagede, kerajinan perak, kesenian tradisional, dan makanan tradisional.
Kesenian sebagai salah satu budaya dari masyarakat tumbuh dengan baik di daerah Kotagede. Kesenian tradisional Kotagede antara lain Karawitan, Wayang Tingklung, dan Sholawatan. Karawitan merupakan kesenian tradisional asli Kotagede. Wayang Tingklung merupakan sejenis kesenian wayang yang sangat unik, pertunjukan Wayang tingklung berbeda dengan pertunjukan Wayang pada umumnya. Dalam pertunjukan Wayang Tingklung, peran dalang tidak hanya diposisikan sebagai orang yang memainkan wayang dan penguasa jalan cerita, akan tetapi dalang juga melantunkan sendiri instrument pengiring dengan suaranya. Dengan kata lain tidak ada alat music Gamelan, namun cukup bibir yang menirukan suara Gamelan.
Di Kotagede, kesenian yang berkembang cenderung kearah seni religious. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang masyarakat Kotagede yang religious sehingga tidak mempengaruhi corak kesenian yang dihasilkan. Salah satu contoh kesenian tersebut adalah Shalawatan. Shalawatan merupakan kesenian yang sudah menjadi tradisi di Kotagede sejak Kerajaan Mataram Islam. Pada awalnya kegiatan ini hanya diadakan pada upacara peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yaitu untuk memberikan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syair yang dibacakan berisi tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad sebagai suri teladan. Alat musik yang digunakan adalah Gong, Kempul, dan Geblu.
Bangunan komplek Masjid Besar Mataram merupakan salah satu komponen asli Kotagede yang berada di sebelah selatan Pasar Kotagede. Pada bangunan komplek Masjid Besar Mataram terdapat gapura Gapuraksa, Bangsal Duda, Sendang Saliran (tempat pemandian) untuk putrid dan Sendang Saliran Kakung, Pasarean Hastana Khita Ageng, Benteng Dalam (Cepuri), Beteng Luar (Baluarti), dan jagang. Kedua beteng berfungsi sebagai pertahanan keamanan dan pohon beringin tua yang disebut dengan Wringin Sepuh yang masih tumbuh kokoh hingga sekarang.
Rumah tradisional yang berada di Kotagede dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkaan pada gaya arsitekturnya, yaitu rumah Kalang dan rumah tradisional Jawa. Rumah Kalang adalah rumah yang berstrukturkan ruangan-ruangan Jawa, akan tetapi detailnya berkonsep Eropa. Ciri-ciri rumah Kalang antara lain tiang bergaya Corinthia-Romawi, terdapat hiasan berbentuk kaca patri berwarnaa-warni, banyak menggunakan tegel bermotif, baik untuk lantai maupun untuk penutup dinding bagian bawah, serta terdapat banyak pintu dan jendela berukuran besar. Adapun unsure tradisional yang digunakan ialah susunan bilik masih menggunakan prinsip tiga senthong, gondhok, gadri, dapur, kamar mandi, dan sumur.
Bangunan-bangunan rumah di Kotagede dibangun berdasarkan konsep tradisional, bangunan asli Kotagede adalah bangunan yang berdiri sebelum tahun 1930. Pada masa sebelum tahun 1930 bangunan dibangun sebagai pendukung kejayaan Kotagede sebagai pusat Kerajaan Mataram yang diidentifikasi berasitektur Indis, yaitu perpaduan antara arsitektur tradsional Jawa dan Kolonial.
Sebelum terjadi gempa bumi 27 Mei 2006, bentuk bangunan rumah tradisional Jawa yang banyak dijumpai di Kotagede yaitu rumah Kalang, Panggang pe, Limasan, Joglo, dan rumah Kampung, setelah terjadi gempa bumi, banyak rumah-rumah tradisional Jawa yang terdapat di Kotagede rubuh akibat gempa bumi.
Bentuk bangunan rumah Panggang pe merupakan bentuk bangunan beratap satu yang umumnya dipakai untuk pos ronda. Bentuk bangunan Kampung merupakan pengembangan bentuk dari bentuk rumah Panggang pe yang mempunyai atap dua sisi, umumnya digunakan untuk kedai, warung, toko, atau dapat juga untuk tempat tempat tinggal. Bentuk Limasan, bentuk Limasan ditandai dengan adanya dudur suwunan (aatap) bebrbentuk limas tanpa tutup keong, sedangkan bentuk rumah Joglo adalah bangunan rumah yang terdiri dari pendopo yang merupakan tempat menerima tamu, ndalem atau ruang keluarga dan gondok yang berfungsi sebagai dapur.
Bangunan rumah tradisional Jawa yang berada di Kotagede, hampir sama dengan bangunan rumah tradisional Jawa Tengah pada umumnya, yang membedakaan rumah tradisional Jawa yang terdapat di Jawa Tengah pada umumnya dengan yang berada di Kotagede adalah, rumaah tradisional Jawa yang dibangun di Kotagede bentuk bangunan rumahnya besar-besar dengan dikelilingi pagar tembok tebal dan tinggi, setinggi bangunan rumah dengan satu regol uatam (pintu besar) dan diba ngun saling berhimpitan dengan rumah lain sehingga membentuk suatu lorong-lorong atau gang-gang kecil, yang oleh para warga lokal Kotagede gang tersebut disebut dengan sebutan gang rukunan.
Bentuk atap yang dikenal dengan Joglo, bangunan asli Kotagede adalah berbentuk datar dan menonjol berbentuk segitiga, dengan jenis atap Kampung dan Limasan sejajar dengan jalan maupun yang tegak lurus dengan jalan. Ketinggian bangunan terdiri dari satu lantai dengan tinggi bidang massif bangunan hanya sekitar 2.5 meter sampai 3.5 meter bangunan dengan dimensi lebar yang kecil (< 5cm), namun dengan pola yang berderet-deret dan saling berhimpitan antara rumah satu dengan lainnya mempertegas garis horizontal yang tercipta. Pada pintu dan jendela bangunan membentuk garis vertical, dengan model seperti kotak yang memiliki dimensi tinggi dan lebar tidak berbeda jauh.
Sebagai pemuda Kotagede, sudah selayaknya kita memelihara dan melestarikan kebudayaan Kotagede, agar kelak di kemudian hari tidak termakan oleh zaman.

Sumber: Skripsi Beti Widyastuti UIN SK 2009

Mataram di Kotagede Bersemi di Lubuk Jawa



Kebangkitan kerajaan Mataram di Kotagede menengarai awal kembalinya Jawa Tengah bagian selatan dalam percaturan kekuasaan di Jawa. Hampir seribu tahun sebelumnya, wilayah ini adalah pusat kekuasaan dengan hasil karya peradaban yang menakjubkan dunia, yang kemudian ditinggalkan.
Coba lihatlah, Jawa Tengah bagian selatan ini, merupakan area persebaran, pertumbuhan, perkembangan, kejatuhan, dan perpindahan berbagai kerajaan Jawa, dikenal sebagai wilayah yang kaya akan peninggalan asset budaya hasil peradaban masa lampau bernilai tinggi, baik berupa warisan budaya fisik maupun budaya non fisik.
Berbagai dinasti kerajaan di Jawa yang memberi pengaruh dan mewarnai keberadaan kerajaan Mataram di Kotagede, antara lain kerajaan Mataram kuno yang didirikan pada abad ke-7 oleh Dapunta Syailendra dan kerajaan Mataram Hindu yang didirikan dan diperintah oleh dinasti Sanjaya pada tahun 717 s/d 925.
Setelah itu, pusat-pusat kekuasaan bergeser ke timur dan kian mendekati pantai. Pada awal perkembangan Islam di Jawa, hampir semua kerajaan terletak di sepanjangan pantai utara, seperti Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Sunan Pandanaran, salah satu pendakwah Islam terkemuka yang semula berkedudukan sebagai bupati Semarang, merintis tumbuhnya peradaban di bagian pedalaman Jawa ini, tepatnya di bukit Tembayat di dekat Klaten sekarang. Namun demikian, pengaruh kekuasaan wali yang juga sering disebut sebagai Sunan Tembayat ini, lebih pada wilayah keagamaan.
Kerajaan Pajang juga tumbuh pada saat itu, tapi usianya tak lebih dari satu generasi penguasa. Setidaknya baru Ki Ageng Pemanahan yang benar-benar membina kekuasaan baru di wilayah pedalaman Jawa ini. Negeri yang disebut Mataram (Kotagede) ini kemudian menjadi pemain penting dalam panggung sejarah di Jawa hingga beratus tahun kemudian.
Kotagede merupakan ibukota pertama kerajaan Mataram Islam. Kerajaan ini berdiri tidak lama setelah berakhirnya kerajaan Pajang pada perempat abad ke-16. Kerajaan Mataram Islam di Kotagede ini berlangsung selama 180 tahun, sejak dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 sampai dengan berakhirnya kekuasaan dinasti Mataram Islam pada tahun 1755 semasa pemerintahan Sunan Pakubuwono ketiga.
Selama masa keberadaan kerajaan Mataram Islam ini, terjadi pergantian kepala pemerintahan sebanyak 11 kali dan perpindahan ibukota kerajaan sebanyak 4 kali, dimulai dari Kotagede, kemudian Kerto-Pleret, keduanya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, serta berpindah ke Kartosuro dan kemudian Sala, kedua ibukota terakhir ini berada di wilayah Jawa Tengah.
Pada masa kekuasaan Penembahan Senopati, hampir sepanjang masa pemerintahannya digunakan untuk melakukan penaklukan-penaklukan, tentu saja setelah pengaruh kekuasaan Pajang surut, Panembahan Senopati menyatukan lagi wilayah-wilayah Pajang yang berusaha melepaskan diri di bawah panji-panji Mataram.
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan ini menjangkau hampir semua bagian terpenting di pulau Jawa. Beberapa bagian Sumatera dan Kalimantan pun mengakui kekuasaannya. Sultan Agung merupakan raja keempat dari dinasti Mataram Islam. Ia berkuasa dari sejak tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan raja Mataram Islam yang paling menonjol diantara ke-11 raja-raja Mataram Islam lainnya. Pada lima tahun pertama kekuasaannya, Sultan Agung bertempat tinggal di Kotagede, namun pada tahun 1618, beliau mulai berkraton di Kerto sampai wafatnya. Berdasarkan atas fakta, Mataram Islam di Kotagede ini eksis sebagai ibukota kerajaan selama kurang lebih 43 tahun (1575-1618).
Kini, kedigdayaan kekuasaan pemerintahan Mataram Islam di Kotagede hanya meninggalkan kenangan berupa komponen-komponen situs dan peninggalan artefak. Komponen-komponen situs di Kotagede antara lain:
1.  Pintu Gerbang Pabean
Beberapa pintu gerbang Pabean merupakan tempat petugas memungut cukai dari orang-orang yang masuk atau keluar Mataram. Namun di dalam penelitian arkeologi belum berhasil diungkapkan data artefaktual yang berkaitan dengan keberadaan pintu gerbang Pabean tersebut.
2.  Benteng
Jalur dari benteng adalah sebagai berikut:
v  Cepuri (Benteng Dalam)
Sudut tenggara jalur struktur yang melengkung disebut Bokong Semar.
v  Lawan Seketin
Merupakan pintu masuk kraton Mataram. Pagarnya dibuat dari potongan-potongan batu andesit. Bagian belakangnya berdiri di atas tebing kali yang airnya mengalir deras. Pada waktu Van Mook menulis artikel tentang ‘Kotagede’, penduduk menyebutnya sebagai ‘Benteng Njero’.
v  Kota Batu Putih (Benteng Cepuri)

v  Cota Saba dan Cota Dalam
Adalah tempat tinggal ayah raja. Tinggi tembok antara 24-30 kaki dan lebarnya 4 kaki.
v  Jagang (Parit) keliling untuk pertahanan
Di bagian luar Cepuri dan Baluwarti terdapat cekungan memanjang dengan kedalaman 1-3 meter, lebar antara 15-25 meter. Di atas jagang sudah berdiri bangunan baru, disamping masih juga yang berupa persawahan.
Peninggalan artefak di Kotagede yang masih bisa diidentifikasi baik berupa artefak yang masih utuh sampai arter=fak yang brwujud puing-puing adalah sebagai berikut:
Ø  Puing-puing bata putih dan bata merah, bekas benteng baluwarti di kampung Baluwarti Basen.
Ø  Situs Kedhaton dan nDalem.
Ø  Bokong Semar.
Ø  Jagang.
Ø  Pasar, MAsjid, Alun-alun (menjadi perkampungan).
Ø  Makam raja-raja Mataram.
Ø  Sendang seliran.
Ø  Sendang Kemuning.
Ø  Batu Cantheng, Batu Gilang, dan Batu Gentong.

Ditulis oleh: Erwito Wibowo

Rabu, 15 Mei 2013

SUPER FUNNY-Pixar Karate



What do you think guys?

PESONA KECANTIKAN KERTAS DAUR ULANG

Beberapa tahun terakhir ini, banyak para pelaku industri yang terkadang mengesampingkan pengelolaan lingkungan yang menghasilkan berbagai jenis limbah dan sampah. Limbah padat bagi lingkungan hidup sangatlah tidak baik untuk kesehatan maupun kelangsungan hidup masyarakat umum. Limbah padat yang dihasilkan oleh industri besar dan kecil sangat merugikan jika limbah padat tersebut tidak diolah dengan baik menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Berbicara mengenai limbah, ada baiknya melihat rujukan yang dirumuskan oleh Tim Teknis Pembangunan Sanitasi bahwa limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Limbah banyak sekali jenisnya. Salah satu limbah yang paling sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah limbah kertas. Yusman (2010) mengatakan bahwa kertas merupakan salah satu komoditi yang sangat dibutuhkan oleh hampir seluruh umat manusia di dunia. Kehidupan modern kita sehari-hari kini tidak bisa lepas dari kertas yang bahan bakunya sebagian besar kayu hasil tebangan pohon dari hutan. Dengan demikian, makin boros masyarakat memakai kertas, makin banyak pohon yang harus ditebang untuk dijadikan pulp (bubur) calon kertas. Sebagai gambaran kasar, untuk menghasilkan 1 ton serat asli pulp kimia diperlukan sekitar 1,5 ton kayu. Jadi dapat dibayangkan apabila penggunaan kertas hanya dipenuhi oleh serat asli, maka akan berdampak langsung pada kelestarian lingkungan hidup.
Perlu diketahui bahwa kebutuhan kertas di Indonesia pada tahun 1987 hanya membutuhkan 782.420 ton dan pada tahun 1996 sudah mencapai angka 3.119.970 ton. Dari semua kertas yang dikonsumsi tersebut hanya sebagian kecil yang kembali ke pabrik untuk didaur ulang karena terjadi benturan kepentingan dengan penggunaan lain oleh masyarakat. Namun demikian, bukan berarti kertas yang tidak kembali ke pabrik kertas tersebut sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat. Kertas bekas yang tidak termanfaatkan, karena satu dan lain hal akhirnya akan bermuara ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga akan menambah volume sampah dan memperpendek umur TPA itu sendiri (Kompas, 18 Desember 2003).
Meningkatnya pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia telah membawa dampak terhadap meningkatnya permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah. Oleh karenanya, dalam upaya terpeliharanya kualitas lingkungan industri harus meningkatkan pengelolaan limbahnya melalui pengolahan yang lebih efektif dan kemungkinan pemanfaatannya. Industri pulp dan kertas pada saat ini dihadapkan pada masalah penanganan limbah padat yang jumlahnya cukup besar (Setiadji, 2001).
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan masyarakat yang makin tinggi terhadap masalah lingkungan, telah mendorong pihak industri untuk melakukan upaya pemanfaatan limbah sebagai alternatif pengelolaan lingkungan yang perlu dikembangkan, karena selain tidak ada lagi sisa yang terbuang juga dapat memberikan nilai tambah (Adibroto, 2008).
Pemanfaatan kertas bekas perlu dilakukan agar tidak mengganggu lingkungan hidup masyarakat. Pemanfaatan kembali kertas bekas secara langsung untuk penggunaan lain merupakan upaya penghematan terhadap peningkatan kebutuhan kertas dari serat asli. Upaya daur ulang kertas bekas tersebut akan berdampak positif terhadap kemusnahan hutan dimasa mendatang. Salah satu upaya daur ulang sampah kertas adalah memberi perlakuan terhadap kertas bekas untuk dijadikan produk bahan pengemas kembali dengan ukuran yang sama atau lebih kecil.
Untuk mengolah limbah kertas, dibutuhkan berbagai macam peralatan dan bahan. Alat-alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat kertas daur ulang bisa dikatakan mudah didapat karena sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat-alat yang digunakan adalah screen dengan bingkai atau cetakan, batako atau batu, ember, setrika, blender, baskom, dan meja. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kertas, air, kain katun, spons, dan juga papan kayu.
Proses pembuatan daur ulang kertas ini juga cukup mudah dan relatif simpel, sehingga bisa dilakukan oleh semua kalangan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merobek kecil-kecil kertas bekas, kemudian merendamnya ke dalam air selama satu hari. Langkah kedua, memblender kertas seperti bubur dan menuangkan ke dalam baskom yang berisi air secukupnya sambil diaduk. Langkah ketiga, meletakkan spons di atas meja, kemudian menaruh kain katun yang sudah dibasahi pada bagian atasnya. Langkah keempat, menyaring campuran di baskom dengan memakai screen sablon dan kemudian meletakkannya di atas spons yang sudah dilapisi kain katun dengan posisi terbalik, lalu menggosok sedikit screennya dan kemudian diangkat dengan hati-hati. Langkah kelima, menutup dengan kain yang sudah dibasahi dan menambah satu lapis lagi kain basah, kemudian mengulang kembali langkah keempat. Sesudah menjadi beberapa lapis, langkah keeenam adalah melakukan proses pengepresan dengan menaruh papan kayu pada bagian atasnya dan memberi pemberat seperti batako atau batu. Langkah ketujuh, membiarkan selama  satu jam agar airnya berkurang dan sebelum diangkat harus dipastikan sudah cukup kering. Langkah kedelapan, mengangkat sepasang demi sepasang dan menjemurnya di tempat yang panas. Langkah terakhir adalah menyetrika sepasang demi sepasang kemudian membuka kainnya pelan-pelan, dan kertas daur ulang siap digunakan.
Jika kita ingin membuat motif khusus, maka perlu dilakukan proses-proses tambahan seperti proses tempelan, proses campuran, dan juga proses press. Proses tempelan dilakukan pada saat sebelum kita menutup campuran bubur kertas dengan kain yang sudah dibasahi, yaitu dengan cara menempelkan bunga, rumput, atau daun kecil-kecil di atasnya. Proses campuran dilakukan ketika memblender kertas, yaitu dengan cara menambahkan bunga, rumput, atau bahan alami lain, yang akan memberikan warna dan pola khusus. Sedangkan proses press dilakukan ketika sedang mengepres kertasnya, yaitu dengan cara menaruh daun atau sesuatu yang bermotif bagus kemudian meletakkan papan kayu di atasnya dan diberi pemberat.
Banyak sekali contoh barang yang bisa dibuat dengan kertas daur ulang. Misalnya kertas untuk menggambar, pembungkus buku, tempat pensil, undangan, amplop, dan juga map. Kertas daur ulang juga bagus sekali untuk ditempel di atas karya-karya yang terbuat dari karton sepertu kotak pensil, bingkai foto, dan juga kotak kado.
Untuk proses pewarnaan, kita dapat menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan. Bahan-bahan alami yang bisa dipakai untuk mewarnai kertas adalah kunyit untuk warna kuning, daun jati untuk warna merah, daun pandan wangi untuk warna hijau, gambir untuk warna hitam, pacar cina untuk warna merah muda, dan nila untuk warna biru. Jadi, Mulai sekarang ayo kita mendaur ulang kertas sekaligus menyelamatkan hutan kita.