Terpisah tapi terhubung
oleh koridor jalan-jalan. Itu lah konsep Catur Gatra Tunggal, empat
wahana menjadi kesatuan tunggal. Para sejarawan mengatakan bahwa lokasi pasar
Kotagede adalah sama dengan pasar Gedhe di zaman Mataram. Keraton
Mataram sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat peribadatan, alun-alun
sebagai pusat adat budaya masyarakat, dan pasar sebagai pusat perekonomian.
Dahulu kala, Sutawijaya
membangun sebuah pasar besar dengan cara membuka hutan Mentaok. Tujuannya
adalah untuk mengembangkan sebuah kota. Awal mulanya, kota itu dikenal dengan
sebutan Pasar Gedhe, atau lebih sering disebut dengan Sargedhe. Keputusan
Sutawijaya untuk membuka pasar dinilai sangat tepat. Pasar adalah jantung perekonomian
yang membuat perdagangan menjadi hidup, kota menjadi ramai, dan makmur. Pada
waktu itu, masyarakat mengembangkan diri bekerja di berbagai macam profesi yang
senantiasa dekat dengan pasar. Akibatnya, mulai bermunculan toponim nama
kampung berdasarkan profesi yang berkaitan dengan pasar. Misalnya, kampung
Sayangan di barat pasar, kampung Pandean di timur pasar, dan kampung Samakan di
selatan pasar.
Menjelang tahun 1960,
banyak kios yang mulai bermunculan di sebelah utara dan barat pasar Kotagede.
Pada waktu itu, kawasan pasar Kotagede masih dikelilingi kawat berduri dan di
dalam pasar ditumbuhi beberapa pohon waru besar. Banyak pendatang yang menetap
di dalam pasar pada zaman dahulu, seperti pedagang arang, pedagang kayu bakar,
warung nasi, maupun warung wedang. Salah satu penghuninya yang legendaries
bernama Sonto dan Beles, yaitu seorang bandar judi kartu yang beraktifitas di
tengah pasar.
Seiring dengan
perkembangan zaman, nama pasar Legi pun kini sedikit demi sedikit menggantikan
nama yang sebenarnya. Di pasar Kotagede, pasaran legi adalah aktifitas luberan
pasar, di mana kegiatan jual beli para pedagang berada di luar bangunan pasar,
di tengah jalan, ataupun di lorong-lorong kampung sekitar pasar. Aktivitas
perdagangan jauh lebih besar di hari Legi daripada di hari lain. Banyak
pedagang dari Piyungan, Imogiri, Terong, Dlingo, ataupun Magelang yang
berjualan di pasar Kotagede ketika memasuki pasaran Legi.
Pada pasaran Legi,
jenis dagangan di pasar Kotagede juga lebih lengkap. Tidak hanya menjual barang
kebutuhan sehari-hari, tetapi juga berbagai peralatan pertanian, burung, ikan
hias, unggas, dan bahkan majalah. Biasanya, para tukang obat, tukang sulap,
tukang ramal, dan tukan kerokan juga tampil ketika pasaran Legi. Kini, nama
pasar Kotagede sudah membaur dengan pasar Legi. Sering sekali pasar Kotagede
disebut dengan pasar Legi atau biasa disingkat Sarlegi. Bahkan, nama pasar Legi
akhirnya terpahat di atas gerbang pintu utama pasar.
Sumber: Toponim
Kotagede, Asal Muasal Nama Tempat